Kuliah merupakan salah satu impian mereka yang baru saja menyelesaikan studi di Sekolah Menengah Atas. Walau masih banyak juga yang memilih langsung terjun ke dunia pekerjaan dikarenakan keterbatasan ekonomi dan alasan lainnya, pendaftaran di ribuan universitas di Indonesia selalu dipenuhi oleh calon mahasiswa. Gelombang pertama biasanya dimulai dengan laris-manisnya formulir ujian masuk perguruan tinggi negeri yang kini dibagi dalam beberapa alternatif. Lalu sesaat setelah hasil ujian perguruan tinggi negeri diumumkan, berbagai universitas swasta gantian menjadi tempat buruan para calon mahasiswa ini. Singkatnya menjamurnya universitas swasta dapat disimpulkan akan selalu mampu menampung besarnya jumlah mahasiswa yang mendaftar. Dan hal ini akan berbanding lurus dengan jumlah wisudawan setiap tahun. Sebagai alternatif terakhir, tentunya universitas swasta lebih fleksibel dalam menetapkan daya tampungnya.
Sebagai pilihan utama, perguruan tinggi negeri (PTN) tentu saja menerapkan persaingan ketat dikarenakan jumlah daya tampung yang terbatas tiap tahunnya. Ini pula yang menjadi salah satu faktor naiknya ‘gengsi’ bagi mereka yang biasanya lulus di salah satu PTN. Terutama apabila diterima di Top 3 seperti ITB, UI, dan UGM. Biasanya mereka yang berhasil lolos di kampus-kampus ini akan dipandang ‘hebat’ oleh kebanyakan masyarakat. Tak salah memang, mengingat banyaknya pesaing yang mereka sisihkan demi meraih satu kursi di sana. Maka ketika saling bersua sesama mahasiswa, tingkat kepercayaan diri mahasiswa di tiga kampus tersebut biasanya jauh lebih besar. Berbanding lurus dengan nama kampusnya yang memang sudah tenar.
Bagi mereka yang berhasil lolos di PTN tentu saja wajar berbangga diri, namun apa yang terjadi dengan ribuan lainnya yang gagal? Biasanya ada tiga pilihan yang sering kali dilakoni mereka.
- Memilih untuk menunggu
Tidak sedikit remaja sekarang yang terlalu terobsesi dengan PTN. Tipikal seperti ini biasanya akan lebih memilih untuk menganggur lebih dulu ketika gagal dalam seleksi PTN pertamanya. Ada yang memilih untuk intens dalam bimbingan belajar selama setahun hingga seleksi PTN kembali dibuka. Hal ini bisa berlangsung sampai dua tahun setelah tamat SMA. Tanpa sadar, mereka ini sudah membuang dua tahun waktunya secara percuma. Bahkan dulu saya memiliki beberapa teman yang mencoba seleksi PTN sampai tiga kali, dan gagal. Akhirnya pilihan berakhir di universitas swasta setelah merasa buntu di PTN. Ketika mereka memulai tahun pertamanya di universitas, teman seangkatan malah sudah bersiap menyusun Tugas Akhir. Rugi kan?
- Stres dan Traumatik
Ini yang lebih fatal. Saat ini memang sudah ada program pemerintah yang secara langsung meloloskan siswa berprestasi ke PTN yang diharapkan. Namun tidak semua yang tersentuh. Masalah timbul, ketika seseorang yang terkenal pintar dan selalu mendapatkan rangking di sekolah dinyatakan gagal dalam seleksi PTN. Banyak kasus seperti ini, kepintaran di sekolah kadang tak menjamin lolosnya ke PTN. Malahan banyak siswa yang ‘biasa-biasa saja’ namun malah lulus di PTN. Banyak kasus demikian yang pada akhirnya membuat mereka yang berprestasi di sekolah tapi gagal jatuh mental. Sehingga rasa percaya dirinya akan hilang dan bukan tidak mungkin akan stress dan tidak terima dengan keadaan. Bahkan saking menyalahkan keadaan, bisa jadi traumatik dan ujung-ujungnya tidak bisa melanjutkan hidup. Kalau sudah begini, berat urusannya!
- ‘Mau tidak mau’ kuliah di Swasta
Gagal di berbagai tes PTN, mungkin menjadi satu hal memalukan bagi beberapa orang. Terutama mereka yang sudah mencobanya berkali-kali. Akhirnya pilihannya kembali ke universitas swasta. Memulai dengan kata terpaksa, mereka ini biasanya tidak akan serius menjalaninya dikarenakan beberapa faktor. Bisa jadi tertekan dengan keadaan di mana teman terdekat masuk ke PTN, Kenyataan tak sesuai dengan obsesi. Lalu ada juga kemungkinan menerima bullying dari sekitar dan sebagainya. Hal-hal seperti ini akhirnya semakin memperburuk keadaan si mahasiswa itu sendiri. Padahal jika dijalani dengan sepenuh hati tentunya akan menuai yang manis di akhirnya.
Berbicara mengenai perguruan tinggi, tentu saja membahas mengenai investasi masa depan. Sejujurnya, kuliah di PTN atau di PTS (Perguruan Tinggi Swasta) sebenarnya tidak jauh berbeda. Apa hal signifikan tentang masa depan yang didapat mahasiswa PTN yang lebih dari perolehan mahasiswa PTS? Dalam konteks ini kita tidak berbicara mengenai materi, adakah jaminan dari PTN untuk masa depan bahagia mahasiswanya? Tentu tak akan ada yang berani menjawab Ya. Bahkan untuk Sekolah Tinggi Kedinasan yang langsung di bawah kementerian saja masih harus mengikuti ujian apabila ingin langsung bekerja di instansi terkait. Jika gagal, tetap saja akan menganggur dan bersaing bersama ribuan wisudawan setiap tahunnya.
Pada akhirnya, setelah diwisuda baik alumnus PTN maupun PTS akan kembali berjumpa di titik yang sama dan bersaing untuk merebut satu kursi di suatu perusahaan. Siapa yang memiliki tawaran terbaik, itulah yang akan menang di akhir. Jadi seharusnya tidak perlu terpaku dengan PTN, karena jaminan kualitas seseorang bukan lagi dilihat dari latar belakang kampus. Kualitas seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri. Jika ingin disebut sebagai alumnus berkualitas, maka selalulah melakukan yang terbaik di mana pun nantinya belajar. Suatu pencapaian jika bisa lolos di universitas populer, namun bukan mimpi buruk apabila hanya mendapat kursi di universitas swasta. Jadi segera tinggalkan mindset kuliah di PTN itu harus, Kuliah di PTS itu rendahan! Harga wisudawan ditentukan oleh kualitas personal mereka, kampus sudah bukan jaminan lagi!
Salam sukses!
Sumber : KOMPASIANA